Nyctophile

Part 1

A Mistake

Pernah memiliki teman yang justru membuat kalian terlibat di dalam masalah sepertiku, pasti sangatlah melelahkan. Dan kini, aku akan berbagi cerita tentang hari-hari yang melelahkan itu. 


“YAA!!!!!”, teriak siswa bernama Lukas. Ia terlihat heboh sambil berlari ke meja guru. “Teman-teman!!!”, teriaknya. Ia langsung jadi pusat perhatian kami sekelas, banyak dari kami yang merasa bising dan terganggu dengan kelakuannya.

“Apa?!”, tanya ketua kelas, Eric. “Kasih tau, buruan!!”, teriak Lulu yang sudah tidak sabar lagi. “Nokturnal!!”, balas Lukas yang kehabisan napas karena berlari. Ia seakan memberi satu kode pada kami.

“Nokturnal?”, heranku. 

“Itu loh orang yang kemarin nyebarin foto kepala sekolah kita lagi korupsi!! “, ujar Lukas. “Yang katanya pernah ngebobol CCTV sekolah juga?!”, tanya Hendry. “Iya!!”, seru sekelas kecuali aku. Aku tau soal kejadian yang mereka sebutkan tadi. Tapi aku tak tau kalo ‘orang itu’ dinamai ‘Nokturnal’.

“Dia keren loh! Pengen tau siapa dia!”, bincang seseorang di belakangku.“Bener! Dia aja sampai bisa ngebobol system dan lain-lain!”, tambah orang lain.

Jadi belum lama ini, ada kejadian aneh di sekolahku. Kepala sekolah kami tiba-tiba terlibat kasus korupsi atau lebih ke kasus suap, dengan salah seorang donatur sekolah.

Hari itu pada jam istirahat kedua, kami warga satu sekolah, mendapat SMS dari nomor tak dikenal. Isinya yaitu beberapa foto dan satu pesan singkat. Saat kami membuka foto itu, kami dibuat terkejut olehnya.

Nampak kepala sekola kami, Pak Jung, sedang menerima sebuah bingkisan besar, dan satu buah amplop putih, dengan latar lobby sekolah. Lalu foto selanjutnya, menunjukkan ruang kepala sekolah yang penuh dengan bingkisan dengan beragam ukuran. Dan foto terakhir adalah foto anak donatur yang sedang dirangkul oleh kepala sekolah.

Pesan singkatnya bertuliskan, ‘Dia, kepala sekolah kalian?’. Aku juga tak mengerti apa maksudnya dan siapa pengirimnya. Karena saat dilacak untuk mengetahui siapa pengirim pesan tersebut, nomornya benar-benar tak terlacak.

Setelah sempat booming, pihak yayasan langsung memecat kepala sekolah tersebut dengan bukti SMS dan bingkisan yang ditemukan di kantornya. Dan anak donatur sekolah itu, langsung memutuskan untuk pindah sekolah.

“Dia kenapa?”, tanyaku pada Lukas. “Kayaknya semalem dia berulah lagi. Semalem, ruang guru dibobol laki-laki berjaket hitam.” Kami langsung mengasumsikan bahwa pelakunya adalah Nokturnal.

“Ngapain? Ada yang dicuri?”
“Kunci jawaban, ulangan harian Biologi, hilang.”
“Woah! Jadi dia mencurinya?”, kata Lulu.
“Tak ada yang tau..”, jawab Lukas.

“Tapi kemungkinan besar memang dia pelakunya.” Kami semua sibuk berbincang satu sama lain tentang pencurian yang kemungkinan dilakukan oleh Nokturnal.

Tiba-tiba pintu terbuka, itu membuat kami kaget karena mengira itu guru. Ternyata Mark. Ia masuk sambil melihat kami bingung. “Kenapa?”

“Nokturnal!”. “Iya, Nokturnal ulah lagi. Tapi kejadian yang ini, menurutku berbeda. Karena tujuannya mencuri”, kata Eric.

Mark tampak melihat ke arahnya, dengan tatapan tersinggung. Atau ini hanya asumsiku saja?

Lalu ia berjalan ke tempat duduknya. Aku yang sedari tadi memperhatikannya, langsung teralihkan dengan Bu Yun, wali kelas kami yang tiba-tiba masuk.

$$$

“Apa mungkin Nokturnal itu siswa dari sekolah kita?”, tanyaku pada Lulu. Kami sedang berbincang bersama di kantin. 

“Kenapa kau bisa memiliki pikiran seperti itu?”, tanyanya.
“Menurutku, ada yang aneh dengan Mark”, bisik,ku asal.

“Apa yang aneh denganku?”, tanya Mark yang tiba-tiba duduk di sampingku. Aku menatapnya terkejut, tanpa berniat menjawab pertanyaannya. “Jih, ditanya juga!’, ia menjitak dahiku pelan.

“Jane!”, panggil Mina.  Ia datang tiba-tiba, lalu duduk di samping Lulu yang juga bersebrangan dengan Mark. Aku tak tau maksudnya apa untuk datang kemari.

“Apa?”, tanyaku. “Uh? Gak papa kan aku duduk di sini?”, katanya sambil tersenyum ke arah Mark. Tapi sayang Mark tak sedang melihat ke arahnya.

“Jane, kelas yuk?”, ajak Lulu. Sebenarnya ia tau tentang hal yang terjadi di antara kami bertiga. Jadi mungkin ia ingin aku keluar dari situasi ini.

Aku mengangguk lalu beranjak dari sana. “Gue ikut!”, seru Mark yang kemudian berjalan di sampingku. Merasa tak enak, aku melihat ke arah Mina, ia sedang menatapku tajam. Sesuka itukah ia pada Mark?

$$$

Sekarang jam dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 8 malam. Baru saja aku pulang dari bimbel pelajaranku. Karena besok ulangan, aku mencari buku cetak Biologiku. Tapi anehnya sudah sepuluh menit mencari, tak dapat kutemukan buku bersampul ungu itu.

“Perasaan, tadi aku masukin di tas, tapi kok gak ada?!”, tanyaku mulai panik. “Jangan-jangan!! Ughhh!!!”

Aku segera berganti baju, lalu mengenakan sepatu putihku dan berlari ke sekolah. Letak rumahku dengan sekolah hanya berjarak beberapa belokan.

Sampai di sana, aku langsung meminta ijin pada satpam, untuk memperbolehkanku masuk. Sebelumnya aku mengirim pesan pada Mina kalau aku sedang ada di sekolah. Walau aku yakin ia tak akan membacanya. Aku melawan rasa takutku akan gelap demi buku sialan itu.

“Kenapa aku tak menyadarinya saat di bimbel tadi?!”, aku merutuki diriku sambil berlari menaiki tangga. Aku sampai di lantai tiga dan otot kakiku terasa mengencang.

“Minimal, itung-itung olahraga.” Aku hendak berbelok menuju lorong kelasku, tapi aku langsung bersembunyi di balik tembok, saat melihat laki-laki berjaket hitam sedang berdiri di depan kelasku.

“I-itu... Nokturnal?!”, bisikku. Aku mengintip dengan tubuh yang mulai bergetar. “Apa yang ia lakukan dengan ponselnya itu?” Ia terlihat sedang merekam sesuatu. Saat aku ingin melihat lebih jelas, tiba-tiba sepatuku berdecit lumayan keras.

“Shi... Agh!”, umpatku pelan. Sepertinya laki-laki itu sadar ada aku di sana. Tanpa pikir ulang, aku langsung berbalik dan lari ke bawah. “You’re so stupid!!”, kataku pada diri sendiri.

Tak lama terdengar langkah kaki lain yang berlari tepat di belakangku. Apa ia mengejarku?! Gawat!

Aku segera menambah kecepatan langkahku. Tapi setelah itu aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Tubuhku jatuh di koridor lantai dua dengan keras.

“Aww.. Sakit..”, ringisku pelan. Tapi aku langsung bangkit dan hendak berlari lagi. Tapi ternyata tak secepat itu, karena laki-laki ini menarikku dan membenturkan tubuhku pada tembok.

Aku yang terkejut pun tak bisa apa-apa. “Ada apa di sana?”, teriak satpam dari lantai satu. Saat aku hendak menjawabnya, laki-laki ini malah membungkam mulutku, dan menarikku untuk bersembunyi di balik tembok.

Aku bisa melihat cahaya senter milik satpam. Ingin sekali aku menendang tubuh laki-laki ini, tapi kakiku terasa sangat sakit karena terjatuh tadi. Sinar itu menghilang, lalu aku segera menatap laki-laki di depanku.

“Jane?!”, tanyanya terkejut. Ia mengenaliku? Jadi benar dia adalah siswa dari sekolahku?

Ia membuka tudungnya dan melepas tangannya. Aku sangat terkejut saat melihat siapa sebenarnya Nokturnal ini.

“Jangan kasih tau siapa-siapa!”, ujarnya sebelum akhirnya berlari ke bawah. Meninggalkanku yang sedang diserang berbagai pertanyaan yang tak terjawabkan.

$$$

Aku berangkat ke sekolah dengan tampang bengong. Aku masih belum bisa percaya dengan kejadian semalam. Kakiku juga jadi pincang gara-gara itu. Aku memasuki kelas sambil terus meringis kesakitan.

Saat mendongak, tatapanku langsung bertemu dengan laki-laki semalam. Ia duduk dengan tenang di bangkunya, sambil satu earphone bertengger di telinganya. Ia menatapku dengan tatapan mengancam. Aku berusaha menghiraukannya dan segera duduk di tempat. 

Baru saja duduk, telingaku dibuat sakit oleh teriakan Aurel, bendahara kelas kami. “Uang kasnya...”, katanya sambil memegang dada.

“Kenapa, Rel?”, tanya Eric.
“Uang kas kita hilang!!”, teriak Aurel lalu ia menangis.

“Hah?!”
“Gak mungkin!!”
“Yang serius sih!!”, teriak Lulu.
“Ada apa ini, ya Tuhan..”, ujar Lukas sambil mengelus dada.

“Kamu yakin?!”, tanya Eric yang kemudian menghampiri Aurel. Ia berusaha menanyai Aurel walau cewek itu sedang menangis. Aku menoleh ke arah laki-laki tadi, dan lagi-lagi ia juga sedang menoleh ke arahku. Aku berusaha tak berpikir macam-macam. Dan memilih menenangkan Aurel.

“Semalem... Aku naruh dompetnya di laci, karena emang kemarin aku lupa naruh balik ke tas. Tapi tadi pagi aku liat, dompetnya kosong... hiks..”, cerita Aurel. Eric langsung memeriksa dompet itu apa benar memang kosong, dan ternyata benar.

“Woy!! Siapa yang nyuri uang kas?!! Ngaku!!”, gertak Eric.

“Jane, bukannya semalem lu bilang lagi ada di sekolah?”, tanya Mina. “Hah?”

Semua orang langsung menatap ke arahku seakan memang aku pelakunya. Tapi justru aku tak jadi ke kelas karena bertemu Nokturnal semalam.

“Jane?!”, Aurel langsung mendorong tanganku menjauh.
“Bukan! Itu bukan aku!”
“Terus siapa?!”, tanya Bela.
“Mana ada maling mau ngaku?!”, sindir Jake.

Aku berdiri menghadap mereka dan berkata, “Aku emang semalem ke sekolah buat ambil buku Biologiku yang ketinggalan. Tapi aku gak jadi..”. Aku berhenti sambil menatap orang yang semalam ku temui secara tak sengaja. Dan yang membuat semua tuduhan mengarah padaku.

“Gak jadi?”

“Gak jadi karena kamu malah ngambil uang kas, huh?!”, tuduh Mina lagi. Aku tak mengerti apa masalahnya sampai benar-benar menuduhku seperti ini. “Nggak!”

“Hei, kembaliin uangnya sekarang! Gak usah banyak omong!”, perintah Lukas.
“Dibilang bukan aku!”, teriakku.
“Kita tunggu sampai besok, kalo gak ngembaliin uangnya. Kamu kita laporin ke guru BK”, ujar Eric.

“Aku aja gak tau berapa nominalnya!”. “350.000!”, kata Aurel.“Tapi kan bukan aku yang ambil!!”, teriakku. “Heizz... Sudahlah, ngaku aja!”, kata Mina.

Aku menatap Mina sekali lagi dengan tatapan kecewa. Tapi ia malah menatapku dengan tatapan menghina dan senyum jahat di bibirnya.

Tak tahan dengan segala tuduhan yang diberikan aku langsung mengambil tasku,dan berlari keluar. Setetes air mata turun dari tempatnya. Aku menangis dalam diam, sambil berlari ke rooftop sekolah.

Bersambung..

Komentar

Popular Post